Sabtu, 07 Mei 2011

Goresan Hati Seorang Muslimah, Seorang Istri

Oleh: Ummu Wafa



Khadijah, Ummahatul Mu’minin. Setiap mendengar nama itu selalu ingin menangis. Rindu yang teramat pada “Bundaku”, dapatkah Allah mempertemukan kami di Yaumil Akhir nanti?

Begitupun saat ini, saat mempersiapkan materi untuk besok siang. Aku mengambil materi dari sebuah blog Kajian Muslimah, yang kemudian kututup dengan pembahasan tentang Ummahatul Mu’minin Khadijah r.a.

Kemudian ingatanku melayang pada sebuah pertemuan, ketika seorang umahat memberikan nasihat kepadaku, beberapa hari yang lalu.

“La, nanti bikin MOU aja sama suami sebelum menikah”, ucapnya disela diskusi hangat ibu-ibu tentang ta’adud atau poligami.

Padahal di saat itu aku belum mempunyai rencana menikah dalam jangka waktu dekat.

“Jadikan aku Khadijahmu”, ujarnya menambahkan

Aku hanya tersenyum, “ Teh, bukannya itu egois ya?”

“ Ya, kalo nanti keadaannya berubah, ya kita bisa meminta. Jadi atas permintaan kita”, ucapnya melengkapi. Mmh…. akupun hanya tersenyum lagi, sambil bercanda dengan Asma, bayi mungil yang berada di pangkuan si Teteh.

Setelah 1 minggu ‘diam’ diantara ramainya pemberitaan tentang poligami seorang ustadz, ternyata para umahat ini akhirnya tak tahan untuk tidak membicarakan tentang poligami. Aku, the one and only akhwat single in that place hanya bisa menyimak dan belajar. Belajar tentang apa yang dirasakan ibu-ibu yang insya’Allah shalihah ini tentang poligami.

Merasakan, betapapun poligami dihalalkan, tapi berat dilakukan. Tentang kecemburuan yang begitu besar, sayang yang begitu dalam dan cinta yang tak ingin terbagi. Padahal sebelum mitsaqan ghalizha terucap, mereka suami istri itu tidak kenal satu sama lainnya. Tapi ketika bingkai pernikahan telah mengikat mereka, begitu mudah Allah mengaruniakan rasa Cinta yang dalam itu. Inginnya tersenyum mendengar pengakuan mereka, ooo ternyata begitu ya rasanya.

Saat ini, serasa merasakan apa yang mereka rasakan, bahwa sulit jika ada orang kedua, ketiga dan keempat. Makin menguatkan hatiku, untuk ’sulit’ menerima jika harus menjadi yang kedua diantara sebuah pernikahan yang terbina. Terbayang perasaan umahat itu, perasaan ibuku, tetehku, saudaraku, jika ada seorang wanita lagi diantara mereka dan suaminya. Ah entahlah, sulit bagiku membayangkan untuk ’menyakiti’ seorang ’saudara perempuan’.

Membayangkan perasaan seorang anak ketika ada wanita lain selain ibunya untuk Ayahnya. Bagiku, seorang sahabat menangis atas sebuah kesalahan kecil yang tak sengaja terjadi akan membuatku tak tenang, apalagi jika harus membayangkan ’sakit’ yang (akan) kutimbulkan bagi ’saudari perempuanku’ untuk waktu yang sangat lama jika aku menjadi seseorang diantara dirinya dan suaminya.

Allahu’alam bi shawab, semoga Allah senantiasa menjaga femahamanku seperti ini. Tapi, jika Allah berkehendak lain, entahlah…
Dan…subhanallah saat ini pun terdengar senandung nasyid, melagukan Bundaku Khadijah r.a….makin rindu rasanya….
Rabb, pertemukan aku dengannya…
Meskipun mungkin nanti aku tidak bisa menjadi seperti Khadijah bagi suamiku (kelak…)

29 Desember 2009


Berbilang hari, bulan dan tahun selepas kumainkan jariku diatas komputer untuk mengetik tulisan diatas. Saat ini, telah hadir buah hati, goresan cinta, amanah Alloh swt diantara keluarga kecil kami yang sudah terbina hampir 3 tahun. Sementara tulisan diatas, sampai kini dan sampai kapanpun akan manjadi isu yang hangat & sensitif dalam sebuah perkawinan.

Lalu, apa pendapatku saat ini, saat dimana Alloh swt telah mengaruniakan seorang qowam dalam kehidupanku?

Mmh tetap sebuah rasa yang berat, berkali kali mencoba berpaling dari kenyataan itu dan berdoa semoga kami tetap berdua tanpa ada wanita lain. Bahkan mungkin cenderung tertawa miris, ketika Bapak-bapak bercanda dan ramai membicarakan tentang itu. Apalagi ditambah muka sedikit sewot para Umahat apabila bapak-bapak mulai berbincang ramai tentang itu, menambah ‘kekuatan’ bagiku untuk ikutan sewot juga.

Begitupun jika dilain kesempatan belahan jiwaku menggodaku dengan kalimat, “Dek, Mas bersyukur mempunyai istri sepertimu”. Wuaa hatiku berbunga – bunga saat itu. Namun wajah jailnya mulai nampak, dan diapun menambahkan. “ Dan jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambahkan nikmatKu padamu”. Wuaa, otakku langsung berfikir ke arah ‘itu’, dan reaksi mencubit pun langsung kulakukan.

Sebuah ayat yang luar biasa pengaruhnya, karena dengannya selain kadang rasa cemburu yang timbul, suamiku juga mengajakku untuk senantiasa bersyukur atas nikmatNya.

Namun tetap saja, jika suamiku mulai menggoda ke arah – arah yang ‘sensitif’ itu, maka mukaku pun mengerut. Meskipun suamiku sering berkata, “Tenang dek, biasanya yang suka jail, rame dan heboh membahasnya biasanya gak berani. Tapi yang diam-diam, biasanya ada niat. Soalnya kan yang rame membahas serasa gak ada beban, tapi kalo yang diam-diam biasanya ada niat tapi takut ketauan”.

Ah entahlah, apakah itu benar atau tidak. Tapi tetap saja seorang istri pasti mengerut hati dan jiwanya ketika membayangkan ada seseorang antara dirinya dan kekasihnya.

Hingga pada suatu masa, tanpa kontemplasi yang berkepanjangan, tiba – tiba muncul sebuah pertanyaan dalam hatiku,

”Bukankah kita harus menerima semua hukum Alloh swt tanpa reserve?”

“Bukankah semua ketentuan yang datangnya dari Alloh swt adalah baik?”

Sama seperti kewajiban qishas, huduud, tampak kejam dimata manusia tapi begitu banyak hikmah didalamnya. Mengapa begitu tabu membicarakan tentang ta’adud ( poligami), mengapa begitu takut seorang suami melakukannya jika memang dirinya melakukan sesuatu yang tidak menyimpang. Mengapa begitu berat bagi seorang istri menerimanya jika ta’adud itu bisa menyelamatkan nyawa dan akidah seseorang?

Jadi dimanakah posisiku saat ini?

Saat ini, aku seorang muslimah yang sedang belajar untuk mencintai Alloh swt dan RasulNya melebihi apapun, sedang mencoba untuk menerima semua ketentuan Alloh swt tanpa reserve. Menyiapkan hati akan segala kemungkinan. Menguatkan iman untuk berpegang hanya padaNya. Mengikhlaskan jiwa agar senantiasa berhusnuzhon padaNya. Serta belajar menyadarkan diriku bahwa jiwaku, dan jiwa suamiku adalah milikNya hanya milikNya. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan Alloh swt tentukan bagi kita.

Bukankah seharusnya cinta padaNya melebihi cinta pada dirinya?

Allahu’alam bi showab

0 komentar:

Posting Komentar

setelah membaca artikel di blog ini,jangan lupa koment dan tinggal kan jejak nya ya fren,,,thank's dah mampir :)